http://Rajawali Times.id Tangerang Selatan,Tanggal 7 Juni 2025 Siapa yang diuntungkan atas terciptanya keadaan yang saling perduli dengan sikap welas asih pada sesama, bukan saja dalam rentang kesukuan, agama, budaya bahkan darah sekalipun. Hingga jika mungkin, meletakkan kepedulian yang sering diartikan sebagai bentuk solidaritas ditengah bencana yang dihadapi oleh pihak tertentu yang membutuhkan uluran tangan dari pihak lain. Lantas, mengapa dogma-dogma fanatisme itu begitu nyata mengoyak keharmonisan sosial dan budaya ditengah transaksi Valuta akhirat yang acapkali menukarkan segala sesuatunya dengan hitungan pahala dan dosa. Sehingga solidaritas semu yang mereka bangun hanya menjadi ekosistem pergaulan pada kedalaman hajat yang mereka anggap benar sendiri.
Meski dalam alunan lagu yang terdengar merdu, banyak dari pihak mereka yang tidak perduli tentang dari mana datangnya suara tersebut berasal. Atau setidaknya mengajukan pertanyaan jika pihak kafir mana yang semestinya tertolak atas frekuensi yang semestinya tidak tertangkap oleh sensor gendang telinga mereka. Mereka yang terbuka dan mudah menerima pandangan dan pemikiran yang moderat tentu akan lebih mudah menangkal hadirnya pemahaman intoleransi diberbagai kesempatan yang ditemuinya. Sebab, bagaimana pun intoleransi akan mudah merasuki masyarakat karena berbagai faktor, termasuk kurangnya pengetahuan dan pemahaman terhadap keberagaman, pengaruh media yang bias dalam menyampaikan pemberitaannya, di sertai kurangnya tindakan tegas dari pemerintah atau aparat hukum yang berwenang guna menangani persoalan ini.
Sering banyak orang menganggap bahwa kesenjangan sosial menjadi persoalan sepele. Padahal masalah ini sering terkait dengan apa yang dialami oleh sandwich generation. istilah ini merujuk pada generasi yang memiliki tanggung jawab dalam merawat orang tua mereka yang telah lanjut usia serta hidup dengan keadaan pas-pasan sekaligus membesarkan anak-anak mereka dalam waktu bersamaan, sehingga mereka merasa terjepit di antara dua generasi tersebut. Walau dibalik itu, mereka memiliki potensi dan kreatifitas yang tak kalah tangguhnya dengan generasi muda yang lahir dari kalangan keluarga mapan. Bahkan tak sedikit dari kalangan ini pun menjadi pihak yang terpapar sikap intoleransi yang mereka anggap demi melindungi diri mereka terhadap rasa minder yang mereka rasakan.
Betapa tidak, ditengah kekurangan hidup yang mereka alami, tentu terasa sulit bagi mereka untuk mengembangkan diri dari potensi apa yang sekiranya ingin mereka kembangkan. Apalagi mendapati dirinya sebagai tulang punggung keluarga, keadaan ini tentu semakin membebani kondisi mental yang mereka rasakan. Belum lagi kekalahan mereka dalam hal-hal yang bersifat akademik, tentu saja berakibat jika kemiskinan yang telah menyelimuti kehidupan mereka, termasuk dalam hal memperoleh jodoh / pasangan hidup yang mereka dapatkan justru dari sesama kalangan sandwich generation itu sendiri. Dalam artian, para pihak yang menikah tersebut, memiliki beban dan tanggung jawab yang sama pula. Sehingga sifat permasalahan yang mereka hadapi semakin terlihat kompleks pula.
Terlepas dari itu semua, demi melihat persoalan bangsa dari apa yang dialami pemerintah saat ini tentu menimbulkan cara berpikir siapapun, termasuk kalangan sandwich generation yang dikenal tahan akan tekanan dari situasi yang sering mereka alami. Apalagi merasakan lemahnya daya beli akibat jumlah PHK yang naik secara signifikan, membuat respon adrenalin mereka terbangun guna melawan atau setidaknya mempertahankan diri, sekaligus mengusik vitalitas bangsa ini yang terkait pada keadaan negara yang seharusnya kuat, aktif, dan energik dalam berbagai aspek seperti ekonomi, sosial, budaya, dan politik, agar bangsa ini kembali mendapatkan potensi dan sumber daya yang dimilikinya guna menghadapi tantangan global serta mencapai kemajuannya. Maka, dalam fakta inilah sikap toleransi itu menampakkan sifat solidaritasnya guna menutup celah kesenjangan sosial dan ekonomi meski masih menganga.
Menarik bagi penulis untuk mengajak pembaca dalam mengamati dugaan atas komunikasi apa yang sedang dibangun antara pemerintah dengan oposisi dibalik viralnya pertemuan Prabowo Subianto dengan Megawati Soekarno Putri selaku oposisi saat ini. Bagaimana pun, rakyat sebaiknya tetap pada kondisi menunggu untuk melihat kesepakatan apa yang akan terjadi antara keduanya. Masyarakat harus tetap waspada atas dampak pertemuan ini. Dalam artian, apakah akan berdampak pada posisi rakyat selaku subjek yang akan terkena imbas positifnya, atau sekedar ajang kasak-kusuk politik yang bisa saja merugikan masyarakat sebagai pihak yang akan dirugikan. Apalagi bukan hal baru jika ejakulasi kekuasaan sering mengundang libido pemainnya untuk mendapatkan orgasme politik mereka yang dilakukan dengan cara lain diluar realitas hasil pemilu yang telah ditentukan rakyat terhadap mereka.
Siapa lagi dari masyarakat yang mau di bodohi untuk tetap percaya bahwa kerusakan demokrasi sekarang ini bukan sebagai bukti atas kontribusi setiap partai politik yang gemar melakukan persekongkolan diruang-ruang koalisi yang mereka bangun hingga sulit dijangkau oleh rakyat. Belum lagi dalam banyak hal, tidak ada satu partai pun yang dirasakan bersih dari keterlibatan tangan-tangan oknum mereka atas tindakan korupsi dibalik banyaknya kasus-kasus ini yang terungkap, sehingga mereka masih layak dipercaya. Bahkan dalam banyak hal, mereka semakin bersikap eksklusifitas dengan mengunci diri melalui penjagaannya yang ketat. Apalagi aksi saling menutupi atas tindakan korupsi bersama diantara mereka yang berstatus sebagai oknum-oknum petugas partai yang satu dengan partai lainnya dengan memanfaatkan kanal terselubung dan tersembunyi hingga sulit diketahui waktu dan tempat pertemuannya.
Bagaimana pun masyarakat harus ditarik kembali pada ruang-ruang yang netral. Termasuk dari kalangan yang menjaga netralitas agama, budaya, seni dan ekonomi yang sekarang telah banyak merasuki dunia UMKM yang nyaris tanpa sadar telah ikut menebarkan residu politik ditengah limbah mereka selama berpuluh-puluh tahun hingga merusak habitat sosial ditengah lingkungan pergaulan saat ini. Sesungguhnya tugas rakyat adalah memilih para calon yang dilampirkan oleh KPU RI atau KPUD melalui proses verifikasi yang mereka ajukan sebagai peserta dalam ajang pemilu yang diselenggarakan. Sehingga masyarakat tidak perlu melakukan aksi dukung-mendukung hingga menciderai Prinsip LUBER / Langsung Umum Bebas dan Rahasia sebagai cara agar masing-masing pihak menyembunyikan pilihannya, sehingga siapapun yang menang bisa dipastikan sebagai pilihan rakyat tentunya.
Disinilah rakyat harus menunggu reaksi atas pembicaraan rahasia yang terjadi antara Prabowo dan Megawati sekarang ini. Sekiranya kesepakatan mereka menguntungkan rakyat, maka tidak ada salahnya bagi masyarakat untuk tetap diam. Namun jika kesepakatan yang terjadi hanya menguntungkan kubu Megawati selaku pihak oposisi, apalagi terkait desas desus dugaan penggantian wapres dalam isu pertemuan tersebut, tentu harus ditolak secara tegas oleh karena aksi semacam ini tak lebih dari jalan samping yang bertentangan dengan sistem konstitusi bernegara yang semestinya dijaga dari tangan manapun yang mencoba mengusiknya. Kekalahan PDIP dalam pemilu kemarin semestinya menjadi konfirmasi bagi partai tersebut agar melakukan introspeksi diri mereka secara internal, bukan malah berupaya mencari pintu lain agar mendapatkan kekuasaan dari gimik Megawati yang acapkali memaksa pihak lain untuk berbagi.
Penulis : Andi Salim
Redaksi Piter Siagian AMd