http://Rajawali Times.id Makassar, 18 Agustus 2025 Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuai kritik usai menyinggung soal gaji guru dan dosen dalam pidatonya di Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri di ITB. Dalam kesempatan itu, Sri Mulyani menyatakan bahwa rendahnya gaji guru dan dosen merupakan tantangan keuangan negara, sambil mempertanyakan apakah seluruh pembiayaan harus ditanggung negara atau melibatkan partisipasi masyarakat.
Pernyataan tersebut, yang juga disertai guyonan terkait tunjangan kinerja (tukin) dosen dan tolok ukur kelayakannya, dinilai tidak empatik dan cenderung melempar tanggung jawab.
Sri Lestari, pakar pendidikan Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya), menilai ucapan Sri Mulyani menyiratkan bahwa kesejahteraan guru dan dosen belum menjadi prioritas pemerintah. Ia menyoroti guyonan soal “jenis-jenis dosen” yang berpotensi membentuk kasta antara dosen kelas atas dan bawah, dengan produktivitas penelitian sebagai indikator pembeda.
“Dosen di Indonesia tidak hanya menjalankan penelitian, tetapi juga pengajaran dan pengabdian masyarakat, ditambah beban administratif yang besar. Pertanyaannya, apakah indikator kinerja yang selama ini digunakan sudah adil, transparan, dan tidak memberatkan?” ujar Tari Jumat (15/8/25)
Dalam mencerdaskan kehidupan bangsa peran guru sangatlah sentral, yaitu sebagai pendidik yang mentransfer ilmu pengetahuan, membentuk karakter moral dan keterampilan peserta didik, membimbing perkembangan pribadi dan sosial, serta menjadi inspirator dan agen perubahan bagi masyarakat. Guru juga bertugas memfasilitasi pembelajaran yang relevan dan inovatif, membimbing generasi muda menghadapi tantangan masa depan, dan menanamkan nilai-nilai kebangsaan (caracter building) agar menjadi generasi penerus yang unggul dan bermartabat.
Begitu pentingnya peran Guru dan Dosen sehingga negara tetangga pernah meminta secara resmi meminjam guru dari Indonesia, sehingga bisa melepaskan diri dari cengkraman pendidikan dari kaum imperialisme (Inggeris) dan berhasil mendirikan perguruan Melayu yang mandiri.
Malaysia pernah meminjam guru dari Indonesia sekitar akhir tahun 1960-an, khususnya setelah normalisasi hubungan antara kedua negara pada tahun 1966, untuk meningkatkan kualitas sekolah menengah berbahasa Melayu di Malaysia. Pengiriman guru ini dilakukan secara bertahap dan berhenti pada awal tahun 1980-an, seiring dengan kemandirian sistem pendidikan Malaysia.
Tahun 1966, Indonesia mengirimkan sejumlah guru. Pada tahun 1969, dikirim 44 guru, dan pada tahun 1970 sebanyak 100 guru. Guru-guru ini bertugas selama sekitar tiga tahun sebelum kembali ke Indonesia. Pada awal tahun 1980-an, program pengiriman guru ke Malaysia mulai berhenti karena Malaysia sudah memiliki tenaga pendidik yang cukup dan merasa mampu melaksanakan pendidikan secara mandiri.
Pada periode tersebut, sektor pendidikan di Indonesia dianggap lebih maju dibandingkan Malaysia. Permintaan ini disampaikan langsung oleh Menteri Pendidikan Malaysia saat itu, Mohamed Khir Johari.
Selain meminta guru, Malaysia juga mengirimkan pemuda-pemudinya untuk belajar di perguruan tinggi di Indonesia pada masa itu.
Siti Zainatul Umaroh
Dalam bukunya: Malaysia Impor Pengajar dari Indonesia Usai Normalisasi 1966, menguraikan bahwa; Sebelum Perang Dunia Kedua, Pemerintah Kolonial Inggris menerapkan kebijakan rekayasa populasi bagi penduduk Semananjung Malaya. Kebijakan itu mewarisi segregasi sosial berbasis ras di Malaysia. Hampir semua aspek terpengaruh, termasuk bidang pendidikan.
Sejak era kolonial, pendidikan di Tanah Melayu terbelah menjadi empat, yakni sekolah Inggris, sekolah Melayu, sekolah Cina, dan sekolah India. Sekolah Inggris—atau dikenal sebagai free school—lazimnya lebih terbuka untuk semua anak-anak latar belakang agama maupun ras. Menurut Francis Wong Hoy Kee & Ee Tiang Hong dalam Education in Malaysia (1971 hlm. 13), selain free school, ada pula sekolah-sekolah yang didirikan oleh komunitas Gereja Methodist atau Gereja Inggris yang berdiri di Semenanjung Malaya.
Sementara itu, ketiga sistem sekolah lainnya lazim disebut vernacular school, yangterpisah berdasar garis etnis tertentu. Sekolah vernakular juga mengadopsi sistem pengajaran atau kurikulum dari negara induknya.
Sekolah Cina di Malaysia saat itu memiliki kurikulum yang sama dengan negeri China. Mayoritas guru adalah orang-orang keturunan Cina dan mendapat pendidikan Cina. Buku-buku teks pelajaran juga didatangkan dari China. Oleh karena kedudukan sekolah Cina yang banyak digunakan sebagai propaganda politik, banyak sekolah ditutup pada 1920 (Nanyang Siang Pau, 20 September 1951).
Segregasi sosial akibat pendidikan yang rasis semacam itu terbawa hingga Federasi Malaya merdeka dari Inggris pada 1957—kemudian dikenal sebagai Malaysia sejak 1963. Sentimen rasial makin menguat lagi karena mekarnya nasionalisme Melayu di ranah pendidikan. Pada situasi itu, orang-orang Melayu kerap mengasosiasikan segala yang bersifat asing sebagai persaingan etnis.
Untuk memastikan Malaysia sebagai negara Melayu, pemerintah pun mencanangkan berdirinya “sekolah kebangsaan”. Perdana Menteri Tun Abdul Rahman mengharuskan dasar-dasar pengajaran di sekolah kebangsaan disesuaikan dengan dasar Rukun Negara. Kemudian, bahasa Melayu ditetapkan sebagai bahasa pengantar dalam semua sekolah, baik sekolah kebangsaan maupun vernakular.
Pemerintah Malaysia sebenarnya sudah menyadari kendala itu sejak pertengahan 1960-an. Solusinya, Pemerintah Malaysia mengirim sarjana-sarjana Melayu itu ke Inggris dan Amerika untuk merengkuh gelar doktor.
Dokter Zarni Amri—pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang pernah mengajar di UKM—menyebut tidaklah mudah untuk menjadi pengajar Indonesia di Malaysia. Ada sejumlah syarat administratif yang harus dipenuhi sebelum ikut seleksi. Misalnya, calon peserta harus memiliki “Surat Keterangan Tidak Terlibat G30S/PKI”. (Online: Siti Zainayul Umaroh).
*Budaya Korupsi Beban Kerugian Negara*
Beban kerugian negara adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan secara sengaja maupun kelalaian dari pejabat publik. Bentuknya antara lain: budaya korupsi (KKN) pejabat publik, seperti; pengeluaran yang tidak seharusnya, pengeluaran lebih besar dari semestinya, hilangnya penerimaan negara, penerimaan lebih kecil dari semestinya, timbulnya kewajiban yang tidak ada atau lebih besar dari semestinya, serta hilangnya hak negara.
Sebagai pejabat publik Sri Mulyani yang memiliki kompetensi profesional bidang keuangan dan perdagangan, seharusnya memberikan penilaian objektif secara proporsional dan profesional, terkait faktor penyebab tidak mampunya APBN membiayai tukin Guru dan Dosen. Secara sederhana proporsional berarti sesuai dengan porsi atau ukuran yang seharusnya, sedangkan profesional berarti bekerja sesuai dengan keahlian, kompetensi, dan etika yang sesuai dengan standar profesi.
Apalagi ditunjang pengalaman dalam melallang buana di dunia global, tentu sangat paham bagaimana kaum kapitalis (negara industri/maju), menjadikan negara-negara berkembang agar tetap tergantung pada kepentingan dagang negara industri.
Bukankah selama ini yang menjadi beban negara adalah kerajaan bajak laut (gurita korupsi), yaitu para konglomerat yang menggunakan kas negara dan SDA sebagai sumber korupsi dengan memanfaatkan pejabat publik dan elit politik?. Kenapa guru yang harus dijadikan kambing hitam sebagai beban negara.
Seperti kasus korupsi besar di tubuh PT Pertamina kembali bergulir setelah Kejaksaan Agung menambah sembilan tersangka baru pada 10 Juli 2025, menjadikan total tersangka menjadi 18 orang. Dugaan praktik curang ini berjalan sejak 2018–2023, dengan kerugian negara yang semakin membesar, kini mencapai angka Rp 285 triliun. Ini belum termasuk kopupsi Bank Mega, dan Kerugian negara akibat kasus korupsi di PT Sritex (SRIL) mencapai Rp1,08 triliun. Lebih tepatnya, kerugian negara akibat pemberian kredit oleh tiga bank daerah kepada PT Sritex dan entitas anak usahanya mencapai angka tersebut.
Berikut beberapa contoh data dan informasi terkait kerugian negara akibat korupsi:
1. ICW (Indonesia Corruption Watch)
Lembaga swadaya masyarakat ini mencatat potensi kerugian negara akibat korupsi pada tahun 2023 mencapai Rp 28,4 triliun, dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai Rp 42,7 triliun. (menurut laporan antikorupsi.org).
2. Kejaksaan Agung
Lembaga ini mencatat kerugian negara dari kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah Pertamina mencapai Rp 285 triliun. (menurut laporan Kejaksaan Agung).
3. Ganjar Pranowo
Calon presiden nomor urut 3, Ganjar Pranowo, pernah menyebutkan bahwa kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp 230 triliun selama 10 tahun terakhir. (mengutip data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Databoks).
4. Kasus Garuda Indonesia:
Pengadaan pesawat di PT Garuda Indonesia diduga menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 8,8 triliun. (menurut Tempo.co).
5. Kasus Timah
Kerugian negara akibat kasus korupsi tata niaga komoditas timah mencapai Rp 300 triliun. (menurut detikNews).
Meskipun angka-angka ini bervariasi, jelas bahwa korupsi telah menimbulkan kerugian besar bagi negara dan masyarakat Indonesia. Kerugian ini tidak hanya berupa kehilangan uang negara, tetapi juga berdampak pada perlambatan ekonomi, menurunnya investasi, meningkatnya kemiskinan, dan berbagai masalah sosial lainnya. (menurut ACLC KPK).
Sebab pergolakan politik nasional, tidak lepas dari skenario geopolitik kapitalisme global yang memanfaatkan penanam modal/investor dan kekuatan-kekuatan politik, untuk mengusung Capres-Cawapres dan pejabat publik yang pro kapitalisme.
Siapa sebenarnya beban negara ! Guru atau pejabat negara bersama kerajaan bajak laut dalam gurita korupsi?.” Ujar Achmad Ramli Karim (Pemerhati Politik & Pendidikan)
Redaksi Piter Siagian AMd