Hentikan Budaya Money Politics Dalam Pemilu Langsung

http://Rajawali times.Id Makassar, 14 Desember 2024 Pernyataan Bapak Presiden Prabowo Subianto yang ingin menjadikan proses politik lebih murah dengan mengembalikan mekanisme pemilihan presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) memunculkan pertanyaan besar: apakah ini langkah maju, atau justru mundur ke belakang? Ide ini, yang terdengar menarik di tengah mahalnya biaya politik (cocst politic) saat ini, memiliki konsekuensi historis dan sistemik yang patut dipertimbangkan dengan cermat dan lapang.

Sistem pemilihan presiden melalui MPR pernah dipraktikkan pada masa pemerintahan Orde Baru, dan dengan sistem ini sehingga Presiden RI kedua Soeharto terpilih hingga enam kali berturut-turut. Hal ini menciptakan dominasi kekuasaan politik yang hampir tak tergoyahkan, di mana suara rakyat hanya menjadi bayangan dalam proses politik. Dan karena ketokohan Presiden Suharto sebagai bapak pembangunan nasional, membuat para politikus di MPR tidak bisa melirik pigur lain dan membiarkan Presiden Soeharto capek sendiri dengan rasa bosan termakan usia selama 32 tahun.

Bacaan Lainnya
banner 300x250

Ketika Presiden Habibie, yang menggantikan Soeharto, mencoba mencalonkan diri lagi, ia ditolak oleh fraksi-fraksi di MPR yang mendukungnya sebelumnya. Dalam kasus Abdurrahman Wahid (Gus Dur), meskipun partainya, PKB, hanya meraih suara rendah dalam Pemilu 1999, ia berhasil terpilih sebagai presiden melalui koalisi politik di MPR. Namun, koalisi yang sama akhirnya mengimpeach dirinya. Ironisnya, Megawati Soekarnoputri, yang memiliki perolehan suara partai tertinggi dalam Pemilu, hanya menjadi presiden setelah mendapatkan dukungan dari “Poros Tengah” di bawah komando Amien Rais.

Usulan untuk kembali ke sistem pemilihan presiden oleh MPR secara implisit juga berarti ingin mengembalikan UUD 1945 ke bentuk aslinya. Langkah ini dimata publik dinilai sangat tepat, karena mengembalikan kemurnian cita-cita para The Founding Fathers.

The Founding Fathers adalah julukan bagi para tokoh Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan berperan dalam merumuskan dasar negara yang merupakan pundasi serta pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu nilai-nilai Pancasila.

Beberapa tokoh yang dijuluki The Founding Fathers seperti:

Mohammad Yamin, Soepomo, Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Tan Malaka. The Founding Fathers merumuskan Pancasila dengan cara musyawarah, yang dilandasi oleh niat yang tulus, ikhlas karena iman dan tagwanya (ibadah), serta dilandasi oleh rasa cinta tanah air (patriotisme). Sikap mereka dalam merumuskan Pancasila dapat diteladani, di antaranya: (1) Iman dan tagwanya berharap rahmat Allah, (2) Menghargai perbedaan pendapat, (3) Mengutamakan kepentingan bangsa dan negara, serta menjauhi kepentingan kelompok, (4) Menerima hasil keputusan musyawarah, (5) Mengutamakan persatuan dan kesatuan bukan mengutamakan suku, agama, ras, dan antar golongan masing-masing.

The Founding Fathers memberikan keteladanan kepada bangsa Indonesia dalam bernegara, yaitu saling menghormati dan menerima hasil keputusan bersama. Mereka tidak saling sikut menyikut untuk saling menyingkirkan satu sama lain demi kepentingan kelompok. Padahal, amandemen UUD 1945 adalah salah satu amanat reformasi untuk menciptakan sistem pemerintahan yang lebih demokratis, transparan, dan akuntabel. Dengan adanya pemilu langsung, rakyat diberikan hak penuh untuk memilih pemimpin mereka.

Namun apa yang terjadi, sungguh diluar dugaan tidak sesuai dengan konsep idealisme penggagas repormasi itu sendiri. Dimana money politic justeru merajalela dan mengundang para investor untuk menanamkan sahamnya dalam dunia politik praktis, berupa investasi jasa dalam bisnis politik transaksional. Yaitu politik transaksi kepentingan, antara parpol peserta pemilu yang membutuhkan cost politics dengan investor yang menyanggupi biaya politik ( cost politic) tersebut. Hal ini dalam rangka memenangkan calon pemimpin yang di kehendaki oleh pemilik modal (investor), sedangkan investor berkepentingan untuk menguasai pangsa pasar suatu negara. Inilah yang dimaksud dengan kapitalisasi politik.

*Presiden RI: Pilkada Harus Dikembalikan Kepada DPRD*

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) adalah salah satu pilar demokrasi yang bertujuan untuk melibatkan partisipasi masyarakat luas (publik), dalam menentukan pemimpinnya secara langsung. Namun, dalam konteks politik modern sekarang ini, muncul pertanyaan apakah pilkada benar-benar mencerminkan semangat demokrasi, atau sekadar menjadi panggung kapitalisasi politik?. Sebuah pertanyaan yang mungkin terdengar sinis, tetapi relevan dengan kondisi faktual dimasyarakat dengan lahirnya budaya politik uang (money politic). Lahirnya kesepakatan para pimpinan parpol besar yang membangun kekuatan poros oligarki, tidak terlepas dari peranan pemilik modal dalam melakukan pendekatan money politik. Dimana para pemilik modal (investor) berupaya membangun transaksi dengan calon pemimpin melalui koalisi parpol, dengan menyanggupi biaya politik (cocst politik) dalam kontestasi Pilpres maupun pilkada. Karena keterlibatan cukong-cukong politik di parpol, serta elite bisnis dalam mendanai biaya kampanye dan pemilihan langsung. Lahirlah sistem demokrasi dalam Kapitalisasi Politik yang lambat laun, mengikis etika moral pejabat publik serta melahirkan budaya bisnis politik dalam masyarakat marginal.

Dalam teori politik, demokrasi secara ideal merupakan sistem di mana setiap suara memiliki nilai yang sama, dan pemimpin terpilih adalah representasi nyata dari aspirasi rakyat (Dahl, 1971). Namun, di balik idealisme ini, pilkada kerap kali berhadapan dengan realitas yang rumit. Kapitalisasi politik atau “political capitalism” adalah istilah yang mencerminkan kondisi ketika uang dan modal menjadi instrumen utama untuk meraih kekuasaan (Daron Acemoglu & James A. Robinson, Why Nations Fail, 2012). Dalam konteks pilkada, kapitalisasi politik terlihat pada fenomena biaya politik yang sangat tinggi, yang tidak jarang memaksa kandidat mencari dukungan finansial dari elite bisnis. Apakah masyarakat benar-benar berkuasa dalam proses ini, atau justru terjebak dalam skenario politik yang dikendalikan oleh pemilik modal?

Praktik “politik uang” atau money politics telah menjadi salah satu hambatan utama yang mengancam integritas pilkada di Indonesia. Praktik ini menciptakan ketidaksetaraan antara kandidat, di mana kandidat dengan dukungan finansial yang besar memiliki peluang lebih tinggi untuk memenangkan pemilihan.

Menurut laporan Bawaslu pada Pilkada 2020, hampir 40 persen kasus pelanggaran yang dilaporkan adalah terkait praktik politik uang (Bawaslu, 2020). Sementara itu, di sisi masyarakat, pemilih sering kali menganggap bahwa menerima uang adalah “keuntungan” dari momen pemilihan, tanpa menyadari bahwa tindakan ini dapat mencederai integritas demokrasi jangka panjang.

Politik uang dalam pileg dan pilkada juga memicu isu moral dan etika.publik, dimana praktik ini bukan hanya menghancurkan nilai-nilai demokrasi, tetapi juga menguatkan budaya korupsi di Indonesia. Chomsky dalam Manufacturing Consent (1988) menyebutkan bahwa kontrol elite terhadap proses demokrasi pada akhirnya akan menciptakan manipulasi yang menguntungkan mereka sendiri. Hal ini sejalan dengan realitas pilkada di banyak daerah di Indonesia, di mana kandidat caleg maupun cakada sering kali menggunakan kekuatan finansial untuk membeli dukungan suara, dan masyarakat miskin yang termarginalkan secara ekonomi justru menjadi target empuk dalam jual beli suara tersebut. Hal ini menunjukkan akan terjadinya tradisi (budaya) baru bagi publik, yaitu bisnis politik dikalangan masyarakat.

Oligarki, atau kelompok kecil elite yang memiliki kekuatan besar dalam ekonomi dan politik, juga menjadi aktor penting dalam kapitalisasi pilkada. Winters (2011), dalam bukunya Oligarchy, mengemukakan bahwa oligarki di Indonesia tumbuh subur karena adanya saling ketergantungan antara elite politik dan elite bisnis. Dalam konteks pilkada, oligarki memiliki kemampuan untuk mengendalikan jalannya pemilihan melalui pendanaan dan pengaruh. Akibatnya, demokrasi lokal bukan lagi milik rakyat, tetapi dikendalikan oleh segelintir orang yang memiliki kekuasaan finansial (kapitalis). Dengan kata lain, pilkada berubah menjadi kompetisi yang bukan hanya soal gagasan dan visi, tetapi lebih kepada siapa yang memiliki dana lebih besar untuk menjalankan kampanye. Akhirnya politik uang (money politics), dijadikan sebagai Instrumen Kapitalisasi politik dikalangan pengusaha.

Presiden RI Prabowo Subianto melempar wacana kepala daerah seperti gubernur hingga bupati dan wali kota kembali dipilih oleh DPRD. Ia menilai sebagaimana yang diterapkan di negara lain, sistem itu dinilai lebih efisien dan tak menelan banyak biaya.

“Saya lihat negara-negara tetangga kita efisien, Malaysia, Singapura, India, sekali milih anggota DPRD, sekali milih, ya sudah DPRD itulah yang milih gubernur, milih bupati,” kata Prabowo di pidatonya di puncak perayaan HUT ke-60 Partai Golkar, Sentul, Kamis (12/12) malam WIB.

Prabowo menyebut hal itu turut menekan anggaran yang harus dikeluarkan negara dalam menggelar Pilkada.

Dia juga menyatakan uang anggaran untuk Pilkada itu bisa digunakan untuk hal lain yang lebih penting bagi masyarakat.

“Efisien enggak keluar duit kayak kita kaya, uang yang bisa beri makan anak-anak kita, uang yang bisa perbaiki sekolah, bisa perbaiki irigasi,” ucap Prabowo.

Prabowo juga menyinggung mahalnya biaya politik yang harus dikeluarkan oleh kontestan di gelaran pilkada. Ungkap Achmad Ramli Karim (Pemerhati Sospol & Pendidikan)

Redaksi Piter Siagian AMd

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *